Selasa, 19 Juni 2012

Hak Pendidikan Anak Jalanan Terlupakan

Oleh : Nahot Sihaloho. Pengamen dan pengemis anak bukan pemandangan baru di kota-kota besar. Ada yang merasa kasihan dan prihatin, tak sedikit juga yang sinis dan tak peduli. Anak jalanan dianggap sebagai sampah yang berjalan di perempatan-perempatan kota karena keberadaannya mengganggu pemandangan. Bahkan ada tindakan represif yang masih dilakukan pihak berwajib, menangkap dan membawa secara paksa ke dinas sosial setempat. Banyak juga yang mendapat pelecehan seksual di jalanan. Anak jalanan seakan menjadi buronan melebihi para koruptor yang harus diseret di tengah-tengah keramaian kota. Padahal sebenarnya mereka hanya membutuhkan pendidikan berkelanjutan yang gratis dan aman dari segala bentuk kekerasan.
Problem paradigma berpikir karena cemoohan sebagai anak jalanan yang kemudian mendarah daging dalam benak tiap anak menjadi penyebab mereka tak ingin lagi bersekolah. Mereka tumbuh dan berkembang dengan latar kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif. Kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh anak jalanan hingga terungkap ke publik hanyalah sebuah fenomena sekilas dari kasus-kasus kekerasan yang sebenarnya sering terjadi di dalam kehidupan anak-anak jalanan. Oleh karena itu, tidaklah terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa anak jalanan senantiasa berada dalam situasi yang mengancam perkembangan fisik, mental dan sosial bahkan nyawa mereka.

Pandangan dominan masyarakat masih memvonis anak jalanan sebagai "anak liar", "kotor" "biang keributan", dan "pelaku kriminal". Adanya stigmatisasi ini tentu saja akan melahirkan tindakan-tindakan yang penuh prasangka dan cenderung akan mengesahkan jalan kekerasan di dalam menghadapi anak jalanan. Seandainya-pun terjadi berbagai bentuk kekerasan yang keji dan tidak manusiawi atau sampai menghilangkan nyawa, peristiwa tersebut belum tentu menjadi kegelisahan dan menggelitik hati nurani publik. Atau bisa jadi ada pihak yang justru mensyukuri dan menilai bahwa peristiwa tersebut memang layak diterima oleh anak-anak jalanan.

Hidup menjadi anak jalanan bukanlah merupakan harapan dan cita-cita seorang anak. Tidak ada seorang anakpun yang  dilahirkan bercita-cita menjadi anak jalanan. Anak merupakan bagian dari komunitas seluruh manusia di muka bumi. Tanpa terkecuali anak jalanan. Mereka bukan binatang, sampah, atau kotoran yang menjijikkan. Anak jalanan juga manusia yang mempunyai rasa dan hati.  Dikejar-kejar, ditangkap, diboyong ke truk secara paksa, diinterogasi bersama-sama dengan preman, pencuri, perampok, bahkan pembunuh tanpa memikirkan bagaimana cara  hak-hak mereka bisa terpenuhi. Usaha-usaha represif haruslah dihindari dan menjadi cara terakhir dalam menertibkan anak jalanan. Cara tersebut sangat tidak baik bagi perkembangan mental anak. Pencegahan merupakan cara yang terbaik dalam mengatasi  anak jalanan. Apabila faktor-faktor yang menyebabkan mereka turun ke jalanan dapat diminimalisir maka bukan tidak mungkin pula aktifitas anak jalanan dapat berkurang.

Peran Pemerintah-masyarakat

Mengingat meningkatnya jumlah anak jalanan dari tahun ke tahun tentulah menuntut kita sebagai manusia ber-ideologi Pancasila untuk menemukan solusinya. Tentu saja solusi yang dimaksud adalah suatu solusi yang manusiawi dan baik bagi mereka bukan saja semata-mata baik bagi kita atau pemerintah!.

Namun, masalah anak jalanan ini tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah dalam memberantasnya. Sebagai bagian dari realitas sosial, dukungan masyarakat juga sangat dibutuhkan disini. Peranan pranata sosial seperti keluarga, organisasi pemuda dan masyarakat, maupun LSM yang bergerak di bidang sosial sangat dibutuhkan disini. Dengan bersinerginya berbagai komponen ini, maka komunitas mereka bisa diminimalisir sehingga mereka tidak perlu lagi berpikiran untuk melakukan kegiatan ekonomi dijalanan lagi. Anak-anak ini bisa mengenyam pendidikan, memperoleh pengetahuan tentang etika dan moral yang nantinya akan melahirkan generasi yang berkualitas dan beradab.

Mahasiswa sebagai generasi muda terdidik dapat menjadi salah satu komponen yang dapat mengupayakan penghapusan fenomena anak jalanan ini. Dengan kemampuan intelektual yang telah terasah, mahasiswa dapat mengaplikasikan ilmu dan keterampilannya untuk memberikan pelatihan dan pendidikan kepada anak jalanan ini. Tidak ada alasan bagi mahasiswa untuk mengabaikan tugas ini, karena mahasiswa juga memiliki tanggungjawab sosial bagi masyarakatnya sebagaimana yang tercantum dalam salah satu point dalam Tri Dharma dari perguruan tinggi, yaitu bakti kepada masyarakat.

Menghapus stigmatisasi anak jalanan sebagai ‘orang buangan’ menjadi sangat penting. Patut disadari bahwa anak-anak jalanan adalah korban baik sebagai korban di dalam keluarga, komunitas jalanan, dan korban pembangunan. Untuk itu kampanye perlindungan terhadap anak jalanan perlu dilakukan secara terus menerus setidaknya untuk mendorong pihak-pihak di luar anak jalanan agar menghentikan aksi-aksi kekerasan dan memberi ruang pendidikan agar pepatah gantungkanlah cita-citamu setinggi langit dapat berlaku juga bagi mereka.***

Penulis adalah Guru Swasta di Medan, email: nahotsihaloho@gmail. com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar